SKETSANUSANTARA.COM-Murid adalah subyek sekaligus obyek pendidikan. Cara pandang guru dalam memposisikan murid di hatinya akan sangat menentukan kedekatan dan kelekatan murid terhadap gurunya. Kedekatan dan kelekatan murid pada guru akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan proses dan hasil akhir pendidikan.
Ada 4 level guru dalam memposisikan murid.
Pertama, level guru yang memposisikan murid sebatas murid di kelas. Hubungan guru dan murid tak lebih hanya sebatas transfer ilmu, murid membayar biaya belajar, guru menyampaikan materi ajar. Persoalan perilaku murid tidak menjadi tanggung jawab guru model ini. Pada level ini hubungan guru dengan murid bersifat “transaksional” (pembeli-penjual)
Kedua, level guru yang memposisikan murid sebagai sahabat.
Guru pada level ini menjadikan hubungannya dengan murid begitu dekat sebagaimana layaknya hubungan persahabatan. Guru pada level ini akan menyapa hangat muridnya, bertanya kabar, memahami perasaan, mendengar impian dan keluhan muridnya, bahkan guru pada level ini bersedia membantu murid dengan cara yang benar dalam menghadapi kesulitan belajar.
Ketiga, guru yang memposisikan murid sebagai anak. Guru di level ini menganggap murid sebagai anaknya sendiri. Guru di level ini sangat peduli dengan kesehatan, keselamatan fisik dan mental, kemampuan muridnya dalam memahami pelajaran. Guru pada level ini senang bersenang-senang, ngobrol, bercanda, berbagi, membimbing, memotivasi, menasehati dan mendoakan murid-muridnya dalam sholat malamnya,
Keempat, guru yang memposisikan murid sebagai “guru”. Guru di level ini sudah mampu mengelola gengsi dan emosi terhadap muridnya. Ia bersedia belajar dari muridnya tanpa rasa ragu dan malu untuk topik tertentu yang ia tidak tahu, bahkan ia rela diingatkan dan dinasehati muridnya. Guru pada level ini berani meminta pendapat dan nasehat dari muridnya.
Ali bin Abi Thalib Radiyallahu anhu berkata :
“Man ‘allamanii harfan faanaa ‘abduhu”
“Siapa yang mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku bersedia menjadi pelayannya”
Dalam catatan sejarah peradaban Islam yang mampu melahirkan para ulama (ilmuan) handal dibidangnya dapat kita temukan hubungan yang manis dan harmonis antara guru dan murid. Coba lihat bagaimana hubungan Imam Malik dengan muridnya yang bernama Imam Syafi’i
Sejarah juga mencatat guru yang sabar dalam mengajar selalu menasehati dan mendoakan muridnya seperti kisah Imam Waqi dengan muridnya bernama Imam Syafii dan kisah Imam Syafi’i dengan muridnya : Ar-Rabi.
Penulis juga mendengar cerita menarik dari salah seorang mahasiswa Indonesia yang belajar di Damaskus Suria, bahwa ketika Damaskus (30 tahun silam) masih menjadi surga belajar bagi para penuntut ilmu terdapat hal menarik terkait hubungan guru dan murid.
Diceritakan bahwa di Damaskus para pelajar asal Indonesia masih merasakan sentuhan hangat dan kasih sayang dari guru mereka. Para pelajar Indonesia sering menerima hadiah uang dari gurunya. Makin jauh negara asal pelajar tersebut dari Suria, maka makin besar hadiah yang mereka dapat. Hadiah tersebut berasal dari royalty penjualan kitab (karya ilmiah) yang ditulis oleh guru tersebut
“Biasanya guru yang sampai pada level 4 telah mencapai puncak the power of giving : empowering, demikian ungkap Suhartono, MPd, konsultan Pendidikan Islam.
Jika guru pintar, sabar dan memposisikan murid dengan benar dalam proses belajar mengajar, InsyaAllah setiap murid akan bersinar”
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu diantara kalian beberapa derajat’ (QS: Al-Mujadalah : 11)