Sketsa Nusantara – Pada 1869, dua atau tiga gerbong ditarik dua atau empat ekor kuda, dengan beban yang begitu berat, sekitar 200 kuda mati sehingga bangsa Eroра memprotes untuk meniadakan rel trem dengan kuda.
Kuda untuk trem diambil dari Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Namun, tenaga kuda justru membawa masalah lain, yakni kebersihan dan biaya.
Ratusan ekor kuda mati karena kelelahan setelah menarik trem tanpa henti menyebabkan pemerintah Batavia harus terus-menerus
melakukan pembelian satwa mamalia itu.
Wajah kota juga terlihat menjadi tidak bersih karena ditemukan kotoran bertebaran di jalanan. Orang Eropa merasa risih dalam satu gerbong bercampur baur dengan orang-orang yang dianggap di bawah kelas mereka.
Setelah itu, timbul pemikiran untuk menggunakan tenaga uap yang lebih manusiawi dan tidak banyak –dalam istilah mereka– membunuh kuda. “Trem pertama kali difungsikan dengan ditarik kuda, tetapi tetap berjalan di atas rel. Dari situlah perumpamaan ‘zaman kuda gigit besi’ muncul,” ujar arkeolog Universitas Indonesia H Junus Satrio Atmojo.
Dalam perjalanannya, pada 1889, trem beralih ke mesin uap dan disambut baik. Lokomotif diimpor dari Jerman, sedangkan gerbongnya dari Belgia dan Belanda. Lokomotifnya menggunakan ketel uap yang diisi dengan tenaga uap bertekanan tinggi di setiap depo uap.
Meski demikian, realitas tersebut juga menimbulkan masalah, di antaranya polusi udara, suara yang bising, dan mesin yang kerap meledak ketika proses pengisian hingga menimbulkan korban jiwa.
Trem pun kembali berevolusi menggunakan tenaga listrik. Hal itu juga kembali disambut baik masyarakat karena dianggap terbebas dari polusi dan kebisingan suara.
*Namun, lagi-lagi masalah lain muncul, yakni banyaknya warga yang meninggal karena tersengat kabel trem ” ini semacam shock culture, ya zaman dulu banyak anak main layangan orang bawa bambu panjang untuk apa, mereka tidak tahu akhirnya kesetrum.
Setiap perkembangan pasti ada hal seperti itu” kata Junus.
Perum PPD
Setelah era kemerdekaan, trem dapat digunakan semua orang tanpa memandang kelas sosial. Namun, Presiden pertama RI Soekarno akhirnya menghentikan operasional trem pada 1962 dengan alasan armada tersebut tidak lagi efisien dan cocok digunakan di Jakarta.
Kecepatan trem yang terbatas hingga masalah kelistrikan yang kerap menimbulkan korban jiwa membuat Bung Karno lebih memilih pengembangan bus kota.
Di sisi lain, sulit pula bagi trem bertahan di Jakarta. karena kepadatan lalu lintas serta rendahnya kedisiplinan para pengguna jalan. Terlebih, trem harus memiliki jalur sendiri.
Perusahaan trem listrik pada saat itu yang sudah diambil alih Indonesia seusai kemerdekaan sebenarnya juga mengoperasikan bus. Namun, ketika trem masih beroperasi, bus itu lebih berfungsi sebagai feeder (pengumpan). Perusahaan itulah yang menjadi cikal-bakal Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta atau yang saat ini lebih dikenal dengan PPD.
Setelah trem hilang, PPD tetap bertahan mengoperasikan bus hingga saat ini dan menjadi BUMN di bawah naungan Kementerian Perhubungan.
Sejarawan Universitas Yogyakarta Muhammad Hadian Saputra menyatakan trem bertenaga uap sempat bertahan lama di Batavia setelah kepergian trem bertenaga kuda. Trem bertenaga uap bertahan sekitar 20 tahun hingga akhir era 1890-an sebelum akhirnya digantikan trem listrik.
“Keberadaan trem listrik pun diganti bus. Alasannya, kondisi jalan raya di Jakarta sudah jauh lebih baik dengan adanya aspal,” **