Ramadan Meninggalkan Kita atau Kita Meninggalkan Ramadan?
Oleh: KH. M. Ma’shum Maulani, Pengasuh PP. Al-Azhar Mojokerto
SKETSANUSANTARA.COM-RAMADAN sebentar lagi selesai. Pada fase sepuluh hari terakhir Ramadan inilah kesempatan kita untuk bisa bermuhasabah, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa ’’innama a’malu bil khowatimi”. Sesungguhnya pekerjaan itu tergantung pada ending-nya.
Jangan sekali-kali menyiakan Ramadan tahun ini, karena tiada yang mengetahui bahwa bisa saja ini menjadi Ramadan terakhir bagi kita. Setidaknya pacu terus motivasi tersebut agar kita senantiasa memiliki ruang untuk ber-tadzakkur (mengingat) dan ber-muhasabah (introspeksi), serta taqarruban ila Allah (mendekatkan diri kepada Allah).
Banyak yang mengira puasa adalah hari menahan lapar, dahaga, dan syahwat dari fajar hingga maghrib, setelah itu lose control, merasa sudah menggugurkan kewajiban akhirnya setelah berbuka kembali melakukan maksiat, kembali berghibah, kembali pada karakter-karakter yang buruk. Padahal, di dalam kitab hikayah Ramadan, secara hakikat, puasa orang tersebut adalah tidaklah sah, sebab puasa adalah sebagai riyadlah yang harus kita istikamahkan.
Melalui ’’pergulatan’’ selama satu bulan inilah, diharapkan seseorang menjadi terbiasa, terbiasa untuk tidak mengeluh ketika lapar, terbiasa untuk bersabar ketika dalam kondisi dahaga, juga terbiasa untuk tidak marah ketika syahwatnya tidak dilampiaskan, dan yang terpenting adalah terbiasa untuk melakukan amalan-amalan yang mulia sebagaimana Ramadan.
Kita perlu mengoreksi diri kita sendiri sebagai bahan evaluasi. Mulai awal Ramadan kemarin sampai hari ini: apakah kualitas dan kuantitas ibadah kita sudah sesuai yang kita harapkan? Namun tantangan selama Ramadan memang berat terutama bagi anak muda. Ada pertanyaan besar yang menggantung di dalam dada? Sebenarnya Ramadan yang meninggalkan kita? Atau kita yang meninggalkan Ramadan? Kita melihat masjid-masjid mulai sepi, husnudzon-nya sudah banyak yang mudik, tapi ternyata fakta di lapangan banyak berkerumunan orang di pusat hiburan, pasar, mall, dan di ruang publik kesenangan duniawi.
Pada sepuluh terakhir ini kita memiliki tantangan yang lebih seru untuk diburu dari pada memburu baju baru, sebagaimana Sabda Nabi ’’Taharrou lailatal qodri fil ‘asyril awakhiri min Ramadan”, carilah lailatul qadar pada 10 hari terakhir Ramadan.
Kita sudah diberikan kode-kode melalui sabda Nabi. Meskipun lailatul qadar tidak bisa dipastikan jatuhnya kapan. Tapi kita bisa mencarinya pada hari-hari ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Namun para ulama ada yang mengatakan bahwa Lailatul Qadar bisa didapatkan di awal, tengah, atau akhir Ramadan. Hal ini memang tidak dijelaskan secara pasti supaya kita mau hunting terus-menerus. Tidak hanya terpaku pada yang ganjil saja, bahkan salah seorang ulama mengatakan bahwa, jika awal hingga akhir Ramadan seseorang berjalan secara kamilan (sempurna), maka sesungguhnya dialah yang mendapatkan voucher Lailatul Qadar.
Berbeda dengan Imam Al-Ghazali, menurut Imam Al-Ghazali Jika awal Ramadan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29. Jika awalnya jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21. Jika awalnya jatuh pada hari Selasa atau Jumat maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27. Jika awalnya jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25. Jika awalnya jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23. Dan menurut para ulama, yang diperkirakan Imam Al-Ghazali ini tidak pernah meleset.
Ada tiga hal yang harus kita perhatikan ketika Ramadan hendak meninggalkan kita, yakni: jangan pernah menunda-nunda untuk beramal salih, jangan pernah meremehkan dosa-dosa kecil, dan jangan pernah menganggap bahwa ibadah kita sudah cukup untuk menghapuskan dosa-dosa kita. Sebab Ramadan ini adalah hak-Nya Allah, “Asshoumu Lii, wa Ana Ajzi bih”, puasa itu untuk aku dan akulah yang akan memberikan ganjarannya. Gunakan Ramadan ini sebagai kontemplasi, momen seorang hamba akrab pada Tuhannya. Karena puasa Ramadan tiada yang bisa dipamerkan ke khalayak selain hanya pada Tuhan yang kita mintai perhatian.
Dalam kitab Maqashid Shaum karangan Imam Izzuddin ibn Abdissalam, jangan sampai kita yang meninggalkan Ramadan, meskipun kita tahu kenyataannya bahwa Ramadan pasti meninggalkan kita, jadikan Ramadan senantiasa berkarakter di hati, hingga seseorang yang digambarkan buah dari Ramadan yang “agar kamu menjadi orang bertakwa” ini memiliki 7 faedah ketika merasakan keindahan Ramadan.
Yang pertama, Ramadan mampu mengangkat derajat kita (Rafi’u ad-Darajat), yang mana sebelum Ramadan kita masih bebas makan dan minum, tetapi ketika Ramadan kita memasuki alam mensifati Tuhan “takhallaq bi akhlaqillah” yang tidak makan dan tidak minum dan tiada bersyahwat, bahkan tidak tidur sebagai anjuran menghidupkan malam dengan salat dan i’tikaf.
Yang kedua, Ramadan sebagai penghapus dosa-dosa kita (takfir al-khati’at), bukan sebagai penahan sebentar tidak melalukan dosa. Sebab selain berusaha menjadikan diri ini salih secara spiritual, perlu juga menjadikan diri ini salih secara sosial.
Ketiga, memalingkan diri dari syahwat (kasr syahawat), kita mungkin tidak merasakan pergulatan perang zaman dahulu dalam membela agama Allah, tapi Ramadan ini benar-benar realisasi sabda Nabi dalam melawan musuh terbesar kita yakni nafsu dan syahwat.
Keempat, memperbanyak sedekah (taktsir as-shadaqat), selain zakat bagi orang yang lemah atau dilemahkan, jangan lupa ada sedekah yang harus kita berikan kepada keluarga terdekat kita, lalu tetangga, dan fakir miskin.
Kelima, menyempurnakan kenikmatan (taufir at-Tha’at), sebab ketika berpuasa kita memiliki 2 golden tiket dari Allah, “lish shaa’imi farhataani, yafrahu bihima farhatun ‘inda iftharihi wa farhatun ‘inda liqaa’i rabbihi”, bagi orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan, kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Tuhannya. Jangan sia-siakan kenikmatan ini dengan meninggalkan Ramadan terlebih dahulu.
Keenam, berterima kasih sebab mengetahui kenikmatan yang tersembunyi (Asy-syukru ‘aalim al-khafiyyat). Manusia terkadang melupakan berterima kasih pada Tuhan ketika bisa makan setiap hari, ketika puasa, kita bisa merasakan rahasia nikmatnya puasa.
Ketujuh, mencegah keinginan untuk bermaksiat (Al-Injizar ‘an al-Ma’ashi), ketika berpuasa kita fokus pada lapar dan dahaga, maka perasaan tersebut dapat mengalihkan kita dari rasa ingin berbuat keburukan atau maksiat.
Ramadan belum meninggalkan kita, selama kita tidak mengizinkannya untuk berpaling dari kita. Ramadan senantiasa di hati kita selama atsar dari kenikmatan berpuasa melingkupi jiwa dan raga kita. Selamat ber-i’tikaf, Lailatul Qadar sudah menanti kita!