sketsanusantara.com- Jakarta
Ribuan buruh dan petani yang tergabung dalam Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia akan menggelar aksi peringatan Hari Tani Nasional ke-64 di Istana Negara, besok, Selasa, 24 September 2024 mulai pukul 09.00. Dari Istana, massa akan bergerak ke Gedung DPR RI.
Di Hari Tani Nasional ke-64 ini, Partai Buruh dan Serikat Petani Indonesia menyatakan sikap bahwa “Reforma Agraria Dimanipulasi, Langgar Konstitusi”. Menurut Henry Saragih, sikap ini diambil berdasarkan pandangan Partai Buruh terhadap kinerja dari Pemerintahan Joko Widodo selama 2 periode ini. Reforma Agraria dimanipulasi pada kegiatan bukan merombak struktur agraria yang timpang, justru memperlebar ketimpangan agraria itu sendiri
“UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) tidak di jadikan sebagai rujukan dari kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Demikian juga UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Sebaliknya pemerintah mengeluarkan UU yang bertentangan melalui UU Cipta kerja (Omnibus Law) yang isinya bukan saja semakin mengekploitasi pekerja tapi juga petani, dan rakyat,” tutur Henry.
Menurut Henry, reforma agraria satu dekade ini justru diarahkan hanya melegalisasi penguasaan kepemilikan tanah yang sudah timpang melalui project sertifikasi tanah, dan menjadi jalan korporasi-korporasi besar menguasai tanah dengan atas nama project strategis nasional (PSN), serta atas nama perubahan iklim jutaan hektar tanah rakyat dijadikan hutan konservasi dan restorasi sebagai komoditas perdagangan karbon.
Henry juga menyampaikan bahwa ini konflik agraria semakin meningkat, karena perampasan tanah rakyat semakin meluas, dan konflik agraria yang sudah ada selama ini tidak ada penyelesaian yang luas dan komprehensif.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI dan Kantor Staf Kepresidenan RI, terdapat 1.385 kasus pengaduan masyarakat terkait konflik agraria selama tujuh tahun terakhir (2016-2023). Dari angka tersebut, 70 lokasi telah ditetapkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Sampai dengan Februari 2024, capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik pada LPRA baru sebanyak 24 LPRA (14.968 bidang/5.133 Ha untuk 11.017 KK). Jadi masih ada 46 LPRA yang belum selesai dan 1.361 lokasi aduan konflik agraria yang mangkrak.
Henry juga menyatakan, bahwa jumlah petani gurem dan rakyat yang tak bertanah semakin meningkat selama 10 tahun terakhir ini. “Petani gurem dengan kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektare mengalami lonjakan dalam satu dekade terakhir, dari 14,24 juta pada tahun 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada tahun 2023,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli, menegaskan bahwa reforma agraria harus diarahkan pada upaya merombak pada struktur penguasaan agraria yang timpang.
“Pemerintah harus memastikan land reform yakni membagikan tanah untuk rakyat yang tak bertanah, petani gurem untuk usaha-usaha pertanian, pembudidaya dan petambak perikanan untuk kedaulatan pangan, maupun untuk perumahan dan pemukiman serta fasilitas sosial bagi rakyat,” ungkap Ferri.
Ferri juga menyatakan bahwa Partai Buruh menuntut pemerintah untuk menghentikan segala Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menggusur tanah rakyat, dan membabat hutan hujan Indonesia, seperti project food estate, dan real estate, sekaligus pemberhentian pasar tanah melalui lembaga Bank Tanah, dan pemberian HGU/HGB/Hak Pakai kepada korporasi, bahkan orang asing yang diusung oleh IMF World Bank dan bersifat Kapitalis dan Neo-Liberal.
“Reforma Agraria harus dilaksanakan berdasarkan Konstitusi yakni sesuai dengan pasal 33 UUD NRI 1945, dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan ini diperkuat dengan harus dicabutnya UU Cipta kerja karena undang-undang ini melanggar Konstitusi; menghalangi dilaksanakannya reforma agrarian,” ujar Ferri.
Ferry menambahkan bahwa pemerintah harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani. Ia menyatakan bahwa pemerintah harus melindungi hak asasi petani baik itu berdasarkan UU Perlindungan Petani No 19 tahun 2013 dan berdasarkan Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan orang-orang yang bekerja di pedesaan (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas).
Sementara itu, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menjelaskan, Reforma agraria harus berpihak kepada rakyat, terutama para petani gurem dan mereka yang tak bertanah. Selama ini, penguasaan tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir elite, sementara jutaan rakyat hidup tanpa kepastian lahan.
“Kami, Partai Buruh, mendesak agar tanah dikembalikan kepada rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Reforma agraria sejati adalah landasan bagi kedaulatan pangan. Jika tanah pertanian terus dikuasai korporasi besar dan dialihfungsikan untuk proyek komoditas ekspor, maka ketahanan pangan Indonesia akan semakin rapuh. Setiap tahun kita semakin bergantung pada impor pangan, sementara petani kita kehilangan akses ke tanah yang seharusnya menjadi sumber kehidupan mereka.”
“Kami juga dengan tegas menolak keberadaan Bank Tanah, yang menjadi instrumen kapitalis neoliberal yang didorong oleh IMF dan World Bank. Bank Tanah hanyalah cara untuk memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan merampas hak rakyat atas tanah. Kapitalisme dan neoliberalisme tidak memiliki tempat di bumi Indonesia, di mana tanah harus dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang kaya. Reforma agraria harus dilaksanakan berdasarkan konstitusi, terutama Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” lanjut Said Iqbal.
Oleh karena itu, Partai Buruh menyerukan agar pemerintah segera mencabut UU Cipta Kerja yang melanggar konstitusi dan hanya memperburuk ketimpangan agraria. UU ini tidak hanya merugikan buruh, tetapi juga petani dan seluruh rakyat kecil. Selain itu, kami juga meminta pemerintah menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani yang berjuang untuk hak-hak mereka.
“Petani adalah penjaga pangan bangsa ini, dan mereka harus dilindungi, bukan dikriminalisasi. Kami akan terus berjuang agar reforma agraria sejati terwujud demi kedaulatan pangan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.