Kegiatan menghalangi upaya untuk mencari, memperoleh, mengolah dan menyampaikan informasi yang dilakukan oleh media massa baik cetak, online maupun elektronik, kerap kali mendapat sorotan besar karena kegiatan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar kebebasan pers.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud pers dan sejauh mana kebebasannya? Jika merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, grafik serta bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan semua jenis saluran yang tersedia.
Sedangkan kebebasan pers, yang tertulis dalam UU tersebut merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat tersebut juga tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, karena memang kemerdekaan ini merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pers nasional juga dinyatakan sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini yang harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan.
Bukan hanya secara nasional, tetapi juga secara global, dan hal ini tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa serta UUD 1945 pasal 19, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Di dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.
Jadi, dengan rujukan-rujukan tersebut, kebebasan atau kemerdekaan pers dinilai sebagai hak asasi yang berhak mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
Meskipun demikian, kita tentu sering mendengar terjadinya sengketa masyarakat dengan pers. Melansir dari Hukum Online (11 Januari 2023), pada tahun 2022 LBH Pers telah menangani sebanyak 44 kasus yang berkaitan dengan pers. Disebutkan juga, selama tahun 2022, LBH Pers mendata adanya 51 peristiwa kekerasan terhadap pers baik diarahkan kepada media, jurnalis, narasumber, aktivis pers, dan mahasiswa yang menjalankan kegiatan jurnalistik dan terdapat 113 korban individu dan organisasi. Hal ini menurut LBH Pers sejalan dengan dengan laporan dari Reporters Without Borders (RSF) yang menyebut Indonesia mengalami penurunan indeks kemerdekaan pers dibanding tahun sebelumnya.
Idealnya, penyelesaian sengketa dengan pers terkait pemberitaan, seharusnya dilakukan berdasarkan mekanisme Dewan Pers sebagaiman tertuang pada pasal 15 UU Pers. Tetapi faktanya, beberapa kasus sengketa pemberitaan dengan pers justru masuk ke hukum perdata dan pidana. Dengan kejadian tersebut, sepatutnya pers berhati-hati untuk menyampaikan informasi, baik akurasi informasi dan sumbernya, keberimbangan informasi, maupun upaya dalam memenuhi kode etik pers.
Di sisi lain, ketika masyarakat merasa ada informasi yang tidak tepat, mekanisme penyelesaiannya harus sesuai dengan norma hukum, dalam hal ini sengketa harus diselesaikan melalui Dewan Pers. Juga ada hak jawab dan hak koreksi yang tentunya bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan sengketa dengan pers yang diatur dalam UU Pers. Kendati demikian, sengketa pers juga dapat merambah ke hukum perdata dan pidana.
Konsep Pers yang Bebas dan Bertanggungjawab
Di balik kebebasan pers, ada batasan yang tetap harus dipenuhi oleh insan pers ataupun masyarakat yang mungkin akan memberikan opininya di media massa. Adanya batasan ini membuat pers bersikap bebas tetapi harus tetap bertanggung jawab.
UU Pers mengisyaratkan upaya kemerdekaan pers yang profesional. Pers nasional berkewajiban untuk menyampaikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, wajib melayani hak jawab, serta wajib melayani hak koreksi.
Di satu sisi, pers melaksanakan kontrol sosial dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya. Di sisi lain, pers juga harus tetap menghormati hak asasi setiap orang. Insan pers dituntut bersikap profesional, terbuka, serta dikontrol oleh masyarakat. Yang dimaksud kontrol masyarakat diantaranya mencakup dijaminnya hak jawab dan hak koreksi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.
Dewan Pers Indonesia menyatakan, pembatasan kemerdekaan pers dapat dibedakan antara kebebasan yang bersumber dari lingkungan pers sendiri (self sensorship) dan yang berasal dari luar lingkungan pers yang bersumber dari kekuasaan publik (public authority).
Pembatasan dalam lingkungan pers sendiri disebut bersifat self restraint atau self censorship, baik atas dasar kode etik atau UU Pers. Sedangkan pembatasan dari kekuasaan publik mencakup: Pembatasan atas dasar ketertiban umum (public order); Pembatasan atas dasar keamanan nasional (national security); Pembatasan untuk menjamin harmoni politik dan sosial; Pembatasan atas dasar kewajiban menghormati privasi (privacy), serta; Pembatasan atas dasar ketentuan pidana, ketentuan perdata, dan ketentuan hukum administrasi, atau hukum lainnya.
Maraknya media-media online saat ini yang menyajikan informasi secara realtime, tentu diharapkan bisa ikut mendorong tercapainya profesionalitas kebebasan pers. Dengan publikasi yang disampaikan secara cepat, tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan peyampaian informasi. Tetapi, di sisi lain, seharusnya mekanisme hak jawab dan hak koreksi juga dapat dilakukan secara cepat. Tidak harus menunggu lama seperti media cetak. Selain itu, semua pihak tentu diharapkan dapat saling mendukung untuk mendorong terciptanya kebebasan pers yang bertanggung jawab dengan semua batasannya.
Tentunya, dengan memahami konsep kebebasan pers secara bertanggung jawab di Indonesia dan batasannya, kita berharap kedepannya kemerdekaan pers secara profesional benar-benar dapat tercipta.